GARAM termasuk mineral yang dapat diperbaharui dan jumlahnya tidak terbatas. Indonesia dengan iklimnya yang tropis dan garis pantai yang panjang menjadi negara dengan potensi produksi yang menjanjikan. Di sisi lain, penggunaan garam domestik dan dunia terus meningkat. Untuk menutupi kekurangan itu maka dilakukan impor.
Pada tahun 2018 impor garam Indonesia mencapai 3,7 juta ton dengan nilai 83,6 juta USD, dan 2019 impor garam dialokasikan 2,7 juta ton. Alasan yang disampaikan Pemerintah karena produksi dan kualitas garam lokal Indonesia tidak mencukupi kebutuhan industri domestik, baik untuk kepentingan industri ataupun pangan.
“Artinya negara mengeluarkan Rp1,34 Triliun untuk impor garam. Dengan biaya impor sebesar itu, sementara petani garam jauh dari kata sejahtera,” ungkap Haryo Widya Darman, mahasiswa Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Malang saat menerangkan proposal yang diajukannya di ajang Rancang Bangun Mesin IX.
“Kurangnya pendampingan dari ahli dan eksploitasi tradisional yang kurang maksimal punya beberapa kekurangan, seperti kepemilikan lahan terbatas, sangat tergantung pada cuaca dan efisiensi produksi yang rendah, menjadikan kualitas garam lokal kurang diminati. Industri,” beber Haryo saat ditemui Senin (14/10) siang.
Menurut mahasiswa yang pernah memenangi ajang internasional ini, diperlukan solusi berupa pernambahan lahan yang fleksibel namun membantu percepatan produksi garam yang sesuai standar layak, sehingga bisa dipindah-pindah dan didekatkan menuju pabrik, sehingga mengurangi biaya transport dan operasional truk.
“Solusi berupa penambahan lahan terapung menjadi masuk akal, karena bisa dipindah-pindah atau didekatkan menuju pabrik. Serta disematkan teknologi tambahan berupa control device android untuk mengetahui posisi, kadar air, temperatur, dan pengaktifan fitur mekatronika otomatisnya,” terangnya saat menjelaskan apa itu Tongkang Garam.
Karena dilengkapi atap, cermin, generator kincir, sekop yang bisa dikendalikan otomatis, tongkang anti karat, tow hook, dan anchor membuatnya mudah dipindahkan, sehingga pembuatan tambak garam hybrid diharapkan jadi solusi untuk membantu petani mempercepat pembuatan garam yang sesuai standar keperluan industri.
Dengan rancangan tongkang ini diharapkan dapat menjawab masalah seperti keterbatasan lahan karena proses kristalisasi dilakukan di atas laut, kualitas garam yang bisa ditingkatkan seperti kebersihan, warna, penurunan kadar air, dan percepatan produksi yang semula 15 hari menjadi 8-10 hari karena rekayasa mekatronika.
“Yang artinya produksi panen akan lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik dan akan meningkatkan harga jual panen yang lebih tinggi. Harapannya solusi ini akan menjadi penyebab berhentinya impor garam yang dilakukan pemerintah. Kami sedang menyusun dokumen paten untuk produk ini,” pungkas Haryo, ketua tim UMM ini.
Haryo tak berjuang sendirian. Dalam perlombaan ini Ia satu tim bersama mahaswa teknik mesin lainnya, yakni Zehandana khatami (angkatan 2016), dan sang adik kandung Annisa Widya Nurmalitasari (angkatan 2007). Dengan komposisi tim ini, mereka berhasil mendapat peringkat 7 dari 44 proposal yang ikut seleksi.
Meski belum mendapat raihan memuaskan, mesin temuan mereka ini kembali dilombakan di ajang yang diadakan oleh Asosiasi Program Studi Teknik Mesin-Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia. Dari hasil seleksi para finalis yang berjumlah 8 tim, tim Kampus Putih UMM berhasil mendapat peringkat 2. (can)